Jumat, 15 April 2011

Organisasi Masyarakat

ORGANISASI MASYARAKAT



Organisasi Kemasyarakatan "Ormas"
Pasca reformasi tampak muncul banyak organiasi kemasyarakatan, "bak jamur dimusim hujan", dalam hal ini penulis mengkaian dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar 1945 amandemen keempat. Pasal mengenai Hak Asasi Manusia menjiwai ketetapan-ketepan Pasal 28 C tentang hak memajukan diri dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk masyarakat, bangsa dan negaranya. Pasal 28 E (2) tentang kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan bersikap seusai hati nurani, (2) hak berserikat, berkumpul dan berpendapat. Pasal 28 F tentang hak berkomunikasi untuk mengembangkan pribadi & lingkungan. Sebelum UUD '45 diamandemen bolak-balik, kita telah memiliki aturan tentang organisasi yang didirikan masyarakat atau yang dewasa ini dikenal dengan NGO (Non Goverment Organization), yaitu Undang-undang R.I Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Mari kita menelaah lebih dalam organisasi kemasyarakat dengan dasar Undang-undang R.I Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan


 Definisi organisasi kemasyarakatan ditetapkan dalam Pasal 1:
Yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Asas Ormas ditetapkan kembali dalam Pasal 2:
Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas (asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara).
Didalam penjelasan Undang-undang ini menetapkan bahwa penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Organisasi Kemasyarakatan tidaklah berarti Pancasila akan menggantikan agama, dan agama tidak mungkin di-Pancasilakan; antara keduanya tidak ada pertentangan nilai
Tujuan Ormas sesuai kekhususannya diatur dalam Pasal 3:
Kekhususan Ormas seperti yang ada saat ini, missal dalam bidang lingkungan hidup (Walhi, Kalhi, dll), hukum (Bina Kesadaran Hukum Indonesia, Rifka Annisa, LBH Apik), Agama (FPUB, Institut Dialog Antar Iman Di Indonesia), Budaya, Kesehatan, dll.
Dijelaskan bahwa Organisasi Kemasyarakatan dapat mempunyai satu atau lebih dari satu sifat kekhususan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, yaitu kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satu fungsi berdasar Pasal 5 d:
sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar Organisasi Kemasyarakatan, dan antara Organisasi Kemasyarakatan dengan organisasi kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah.
Harus memiliki AD/ART sesuai Pasal 7.

Lembaga Swadaya Masyarakat / non-governmental organization
Menguti Wikipedia, Lembaga Swadaya Masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.
Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggris: non-governmental organization; NGO).
Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sbb :
  • Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara
  • Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba)
  • Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi
Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.

Jenis dan kategori LSM

Secara garis besar dari sekian banyak organisasi non pemerintah yang ada dapat di kategorikan sbb :
Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain.





 
Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatanya.



 

Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll.



Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah







Dari dua pemahaman diatas nampaknya kita tidak dapat dengan jelas membedakan apakah suatu organisasi swadaya termasuk Ormas atau LSM. Yang jelas keduanya merupakan organisasi nirlaba dan swadaya masyarakat, namun itupun akan menjadi rancu ketika didalam AD/ART umunya tercantum bahwa sumber dana dari Ormas/LSM ini dihimpun dari : Iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat, dan usaha lain yang sah.
Ketika kita mengesampingkan tataran konsep yaitu defisini, maka mari kita amati ormas/LSM yang sekarang ada, karena banyak yang memiliki kelemahan dan hanya bersifat euphoria belaka, sebentar timbul sejenak tenggelam. Namun itulah dinamika bangsa yang sedang belajar ini, yang lebih memprihatinkan adalah ormas-ormas yang lahir tidak berasaskan pancasila sebagai ideologi tunggal yang ditetapkan oleh Founding father's, yang dampaknya tidak memunculkan persatuan dan kesatuan dalam ke Bhinnekaan, tapi justru disintegrasi dan kepentingan sempit seperti kita lihat dalam berita-berita di televisi yaitu benturan antar ormas bahkan membawa-bawa agama.
Peran pemerintah sangat diperlukan dalam mengatur dan melakukan pembinaan terhadap ormas, karena ormas merupakan langkah awal kesadaran sekelompok masyarakat untuk berserikat berkumpul untuk berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (konstruksi sosial/civil society). Walau banyak pula ormas/LSM yang bersifat oposisi terhadap penyelanggara pemerintah/legislatif namun harus tetap dibina sebagai praktek demokrasi demi terwujudnya good governance. Penulis memandang bahwa ada peluang besar bagi setiap pemuda-pemudi yang tertarik belajar berorganisai dalam ormas/LSM, karena mereka adalah jiwa yang terpanggil dan tentu akan mendapat bekal serta peluang mengawali langkah sebagai Future Leaders.
 sekian .
terima kasih .


Organisasi Partai

PARTAI




       Partai politik terlihat kian pragmatis. Konstelasi politik terkini menunjukkan, terjadi inkonsistensi dalam sikap partai di parlemen. Adanya dana aspirasi atau parliamentary threshold yang sarat kepentingan partai memberikan sebuah potret pada kita, betapa gejala pragmatisme saat ini sangat terasa di partai politik Indonesia.

Di sisi lain, secara internal partai cenderung menginklusifkan diri dan mencoba untuk merangkul semua kalangan sebagai konstituen. Ideologi politik tidak lagi menjadi basis sikap. Sehingga, jika dulu berpolitik untuk mengekspresikan komitmen ideologis, sekarang justru sebaliknya: berpolitik untuk kepentingan-kepentingan pragmatis,.

Fenomena ini disebut oleh Giovanni Sartori, seorang ilmuwan politik Italia, sebagai kecenderungan sentrifugal dalam partai politik. Menurut Sartori, dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi, ideologi partai akan mengarah ke tengah dan membuat penyekat ideologi antarpartai akan semakin blur.





Pertanyaannya, mengapa fenomena ini terjadi dalam politik Indonesia pasca-reformasi? Penulis memiliki beberapa argumen.

Pertama, Terjadi proses institusionalisasi demokrasi dengan menggunakan logika perwakilan secara baku. Sistem kepartaian dan pemilu pasca-1998 telah diatur dan dilembagakan dalam sebuah mekanisme yang baku. Adanya proses institusionalisasi tersebut, di satu sisi, telah membei mekanisme baku yang memungkinkan kekuasaan dapat dikelola secara demokratis.

Akan tetapi, di sisi lain, institusionalisasi tersebut juga berdampak pada kaburnya garis batas ideologi pada masing-masing partai karena tujuan parta dalam meraih kekuasaan telah terfokus pada upaya memenangkan suara publik. Sehingga, spektrum ideologi partai pun menjadi bergeser ke “tengah”.

Kedua, proses demokrasi berjalan dengan logika transfer legitimasi dari rakyat ke elit. Demokrasi dimaknai hanya sekader persoalan transfer legitimasi rakyat kepada elit-elit politik (perwakilan) melalui proses Pemilu. Implikasinya, masing-masing partai cenderung terkena fenomena yang “hukum besi oligarki”. Ada kecenderungan segelintir elit untuk menguasai struktur pengambilan keputusan di internal partai akibat proses demokrasi yang kian elitis tersebut. Sehingga, ideologi secara perlahan-lahan tergantikan oleh proses negosiasi kepentingan para elit.

Ketiga, ketika partai masuk sebagai pembuat keputusan melalui jatah menteri, terjadi proses kompromi dengan presiden. Kompromi ini berimplikasi pada kecenderungan partai untuk menegosiasikan kepentingannya dengan pihak eksekutif dalam soal-soal kekuasaan, seperti jatah menteri atau koalisi di parlemen. Kecenderungan tersebut membuat ideologi partai menjadi lebih “cair”, basis sikap menjadi pragmatis, dan orientasi partai menjadi lebih negosiasif.



Lantas, bagaimana menjaga agar pragmatisme tersebut tidak kontraproduktif dengan alam demokrasi Indonesia? Ada beberapa hal yang penulis tawarkan sebagai alternatif kebijakan.

Pertama, fenomena institusionalisasi demokrasi perlu diperluas tidak hanya dalam soal memilih perwakilan politik, tetapi juga pada ruang-ruang publik yang tidak bersentuhan langsung dengan politik formal. Sehingga, logika demokrasi tidak hanya berada pada level politik, tetapi juga dapat ditransformasikan pada level lain seperti sosial atau ekonomi.

Kedua, hukum besi oligarki dapat diminimalisasi eksesnya dengan melakukan peremajaan dan rotasi kepemimpinan partai. Logikanya, oligarki terjadi ketika struktur partai dihuni oleh wajah-wajah yang lama berada di struktur partai, sehingga perlu ada dinamisasi pada struktur partai secara berkala. Peremajaan yang dilakukan dengan mengedepankan kaum muda di struktur partai serta proses regenerasi dan rotasi kepemimpinan yang dilakukan secara periodik akan memberikan penyegaran dan variasi pada tubuh internal partai.

Ketiga, persoalan menghadapi politik transaksional dan kompromi antara partai dengan presiden -meminjam tawaran Hanta Yuda, pengamat politik The Indonesian Institute- dapat dilakukan dengan pengaturan kelembagaan dan penguatan kapasitas presiden. Pengaturan kelembagaan ini memungkinkan aktor politik dapat dikurangi secara bertahap. Sementara itu, presiden yang kuat akan mereduksi potensi negosiasi yang terlalu intervensif pada posisi eksekutif. Hal ini akan membuat partai lebih strict dalam menegosiasikan kepentingannya.



Terpenting, fenomena ini harus diantisipasi agar tidak berimplikasi pada politik transaksional yang menjadi-jadi. Saya yakin, partai politik masih menjadi aktor yang diperlukan dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia. Akan tetapi, sikap yang konsisten dan berani dari partai politik juga sangat dinantikan. Maka, mari menjadi pemilih yang kritis atas sikap dan kebijakan partai yang kita pilih.










                               

Sekian .
terima kasih ..